Sistem Bagi
Hasil Nelayan Punggawa-Sawi,Adilkah?
Dalam susunan
ekonomi masyarakat nelayan diketahui adanya Punggawa dan Sawi. Punggawa ialah
pemilik modal dan Sawi merupakan peminjam atau pekerja (buruh) atau dalam perundang-undangan
dikenal sebagai nelayan kecil. Pemilik modal berhak membeli hasil tangkapan
Sawi yang diberi modal. Dan Sawi berkewajiban menjual hasil tangkapannya kepada
Punggawa yang memodalinya. Kewajiban ini merupakan ketentuan yang harus
dilakukan oleh keduanya. Modal yang diberikan oleh Punggawa tidak terbatas pada
modal materi berupa uang, namun juga kepada peralatan seperti kapal, jaring,
pukat dan lain sebagainya. Dan hal ini lah yang mendasari bagaimana pro-kontra sistem
Punggawa Sawi dalam kehidupan masyarakat
nelayan.
Hubungan antara
Punggawa-Sawi bukan hanya sekedar layaknya bos
dan anak buah, tetapi terjadi hubungan kekeluargaan yang erat. Saat Sawi pergi melaut dengan peralatan dan
modal dari Punggawa,
keluarga Sawi dititipkan pada sang Punggawa. Misalnya saat anak Sawi sakit dan butuh uang, Punggawa akan memberiman pinjaman
kepada istri Sawi.
Begitu pula sebaliknya, jika ada yang berani mengganggu sang Punggawa maka para Sawi siap pasang badan untuk membela
dan melindungi sang Punggawa. Sistem Punggawa-Sawi
juga menggantikan program-program pemerintah yang hanya bertahan beberapa saat.
Setelah masa program tersebut habis, maka saat itu juga Sawi akan kembali kepada Punggawanya. Peran pemerintah disini
sangat dibutuhkan dalam pengembangan taraf hidup nelayan, misalnya untuk
pemberian modal, penyediaan alat tangkap dan lainnya.
Namun disisi lain, hubungan antara Punggawa-Sawi dapat dikategorikan sebagai hubungan yang tidak seimbang
atau tidak adil dalam kondisi perolehan. Hubungan kekerabatan ini lebih banyak
terjadi dengan tetap menggunakan norma sosial adalah pada tingkat lokal seperti
pedesaan. Hubungan antara superior dan sejumlah inferior didasari oleh
pertukaran pelayanan (service) yang tidak seimbang. Malah dikatakan bahwa
besarnya nilai pertukaran antara Punggawa dan Sawi lebih banyak disandarkan oleh besarnya perhatian atau
pemberian yang terjadi. Misalnya, musim penangkapan ikan yang tidak berlangsung secara
terus-menerus. Ada
masa-masa dimana kegiatan penangkapan ikan tidak mudah dilakukan seperti masa ombak besar
atau stok ikan di laut berkurang. Situasi ini malah semakin menggantungkan hidup mereka kepada Punggawa. Karena
apabila mereka tidak
melaut, maka pendapatanpun
akan terganggu. Satu-satunya jalan yang dilakukannya yaitu mengutang kepada Punggawa, termasuk bila ada kebutuhan yang mendesak. Kemudian, utang yang ada bukan hanya sekedar
utang materi tetapi utang budi karena disaat tak ada lagi tempat berharap
bantuan, sang Punggawalah yang membantu.
Maka dari
itu, perlu dilakukan suatu inovasi baru demi menjaga kesejahteraan serta
hubungan yang saling menguntungkan antara Punggawa dan Sawinya. Sistem yang dimaksud yaitu
dengan mengadakan suatu kesepakatan bersama mengenai sistem perolehan.
Contohnya, memberikan suatu ketetapan gaji baik musim paceklik dan non
peceklik. Bentuk hubungan ini
menguntungkan kedua belah pihak, Punggawa mempunyai buruh yang dapat menjalankan usahanya dan
layanan sosial lainnya, sedangkan Sawi
mempunyai jaminan hidup atau sumber pendapatan di dalam hidupnya. Dengan jumlah
Sawi yang banyak
akan meningkatkan status sosial Punggawa demikian juga dengan kelompok etnisnya. Jika Punggawa ingin lebih jauh meningkatkan
jumlah Sawi
dan tingkat loyalitas, maka Punggawa harus berperan sebagai “Punggawa yang dapat dicontoh atau
dijadikan panutan” dengan cara meningkatkan keyakinan sawinya dalam hal jaminan
hidup; dan jika hal ini tidak dapat dipenuhi atau dipertahankan, maka Sawi tersebut akan dengan mudah
meninggalkan Punggawa.
Hal ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan akibat makin banyaknya jenis pilihan
perolehan sumber hidup; terjadinya persaingan antar Punggawa; dan masuknya investor luar
yang seringkali menitipkan investasinya kepada Punggawa.
Pro-Kontra Tradisi Berburu Paus
di Desa Lamalera NTT
“Baleo!Baleo! Itulah sinyal yang
mereka gunakan kala masyarakat melihat paus melintas di lautan”.
Bagi masyarakat Lamalera, berburu paus adalah sebuah tradisi sakral yang
sudah berlangsung turun temurun sejak zaman nenek moyang mereka. Tak bisa dilakukan begitu saja dan melanggar tradisi yang sudah ada. Namun tidak semua jenis paus boleh diburu, hanya jenis paus sperma saja boleh diburu karena jumlahnya yang lebih banyak.Namun, juga tidak semua paus sperma boleh diburu, untuk paus yang sedang hamil atau paus yang baru saja melahirkan tidak boleh diburu. Hal ini juga merupakan aturan turun-temurun yang
telah mereka terapkan untuk menjaga kelestarian paus sperma. Khusus untuk paus birua tau blue whales,
masyarakat Lamalera tidak memburunya, karena paus biru dianggap sebagai penyelamat leluhur warga Lamalera. Selain itu, paus biru juga merupakan paus langka dan dilindungi.
Pada bulan
Mei hingga Oktober,
ada banyak paus yang bermigrasi dan melewati Laut Sawu.Pada masa itu perburuan baleo pun
berlangsung. Berbeda dengan perburuan paus yang ada di
Jepang, masyarakat Lamalera masih menggunakan perlengkapan tradisional yaitu lamafa. setidaknya perburuan paus di Lamalera lebih ramah lingkungan.Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus tahun 1931 menetapkan bahwa masyarakat tradisional yang
diperbolehkan menangkap ikan paus adalah masyarakat yang
menggunakan kano,
perahu atau alat tangkap lokal yang menggunakan dayung dan layar, tidak menggunakan senjata api, dilakukan sendiri oleh mayarakat asli dan tidak terikat kerja sama dengan pihak menerima hasil tangkapan. Dalam kategori yang
ditetapkan International Whale Commision (IWC) , penangkapan paus di Lamalera tergolong pada subsistence
whaling, karena penangkapan paus dilakukan dalam skala kecil, berkesinambungan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal serta tidak ada tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan perburuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan kategori yang
ditetapkan oleh
IWC, maka masyarakat nelayan Lamalera termasuk dalam kategori masyarakat adat yang tidak menjadi subjek pengawasan IWC.Dan juga
IWC mengakui bahwa perburuan paus oleh masyarakat tradisional di Lamalera berbeda dengan perburuan paus untuk keperluan komersial.
Disisi lain, adanya tradisi berburu paus di Desa
Lamalera perlu dilakukan pengkajian ulang, karena memunculkan sejumlah kontra
diantaranya yaitu dapat menimbulkan kepunahan bagi paus sperma
yang diketahui bahwa paus sperma membutuhkan 14 hingga 16 bulan untuk
menghasilkan satu ekor anak dan tradisi ini dilakukan setiap tahun.Akan
lebihbaikjika di Desa Lamalera dijadikan sebagai tempat pariwisata dibandingkan dengan berburu paus, yang tentunya
menambah pendapatan bagi warga di desa tersebut.
Pro-Kontra Tradisi Berburu Paus di Desa Lamalera NTT
HIMASEI UNHAS
July 23, 2019