EKONOMI DAN LINGKUNGAN BERJALAN BERIRINGAN?
Hubungan manusia dan lingkungan bagaikan kehidupan ikan dalam air, sejak lahir, tumbuh berkembang dan dewasa, manusia senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan alam, lingkungan manusia, maupun lingkungan sosial budaya. Untuk bertahan hidup manusia harus memanfaatkan alam baik itu kebutuhan pangan maupun kebutuhan lainnya demi menunjang kelansungan hidupnya. Saat ini telah banyak terjadi kerusakan lingkungan yang salah satu penyebabnya yaitu aktivitas produksi manusia yang berlebihan untuk memperoleh kebutuhannya. Pertanyaannya apakah jika manusia memanfaatkan alam seperlunya dapat mengurangi kerusakan lingkungan?
Banyak ahli ekologi dan ilmuwan lingkungan yang beranggapan bahwa overpopulation (ledakan penduduk yang terlalu besar) dan eksploitasi sumber daya alam adalah faktor utama yang menyebabkan parahnya kerusakan alam dan lingkungan. Selain itu, peningkatan aktivitas industri yang tidak terkendali juga memperparah kerusakan lingkungan, menghasilkan fenomena seperti pemanasan global, deforestasi, erosi, perubahan iklim, dan permasalahan lingkungan lainnya. Tidak dapat dipungkiri, hal-hal tersebut memang memiliki dampak langsung terhadap kerusakan lingkungan. Namun, kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh kapitalisme. Bagaimana bisa?
Untuk dapat memahami hubungan antara kapitalisme dan kerusakan lingkungan, kita harus melihatnya dari sudut pandang bisnis dan industri, karena di sinilah berbagai macam kepentingan dipertemukan.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya manusia harus meningkatkan jumlah produksinya. Jadi mau tidak mau manusia harus memanfaatkan sumber daya alam sebanyak mungkin untuk mendapatkan penghasilan dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kapitalisme membutuhkan “pertumbuhan” sebagai katalisnya. Banyak pihak yang berkepentingan dalam mendorong terjadinya pertumbuhan. Dalam hal ini, pemerintah sangat berkepentingan untuk mendorong terjadinya pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan peningkatan pemasukan dari sisi pajak, yang lalu akan berdampak pada meningkatnya kapasitas dan sumberdaya untuk mendanai pelayanan publik. Bisnis dan industri juga akan mengejar pertumbuhan–baik dalam bentuk keuntungan atau ekspansi usaha–agar tetap dapat berkompetisi dan bertahan di tengah sengitnya persaingan. Motif “profit oriented” ini sedikit banyaknya terus mendorong bisnis dan industri untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi secara besar-besaran untuk mengoptimalkan keuntungan agar bisnis dapat terus tumbuh dan menjadi besar.
Lalu, jika kapitalisme berhasil mendorong produktivitas dan pertumbuhan, apa yang salah dengan kapitalisme?
Pertumbuhan ekonomi yang pesat memiliki ciri khas tingkat konsumsi yang tinggi. Hal ini secara langsung akan memberikan tekanan yang hebat pada lingkungan dan alam, sebagai penyedia sumber daya produksinya. Kapitalisme membutuhkan pertumbuhan produksi yang terus menerus agar tetap stabil. Stabilnya sistem ini akan berdampak positif pada peningkatan standar hidup dan ketersediaan lapangan kerja untuk populasi dunia yang terus meningkat. Namun, kebutuhan ini berbanding terbalik dengan kondisi terbatasnya sumber daya yang tersedia untuk terus dieksploitasi demi menopang produksi. Beranjak dari pemahaman ini, tentunya sudah mulai terlihat bagaimana ide dan konsep kapitalisme sudah sangat terinternalisasi dalam sendi-sendi perekonomian kita.
Jika kita telaah lebih lanjut dari sisi kita sebagai konsumen, produksi tentunya sangat bergantung pada konsumsi atau tingkat permintaan pasar. Tanpa tingkat konsumsi yang cukup untuk menciptakan lebih banyak permintaan, siklus produksi akan lumpuh. Di sisi lain, peningkatan produksi akan berdampak positif pada penjualan yang akan ikut terdongkrak naik, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan keuntungan usaha. Inilah yang menyebabkan konsumsi dan produksi sering dianggap sebagai dua sisi koin yang sama dalam konteks pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, kita hidup dengan sumber daya ekologi yang terbatas dan perlu dilestarikan demi keberlanjutan untuk generasi berikutnya. Jika daya dukung alam dan lingkungan tidak lagi dapat menopang konsumsi dan produksi, maka pertumbuhan akan mengalami stagnasi (keadaan tidak bergerak) yang kemudian akan menghasilkan krisis ekonomi dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Kalau begitu, bagaimana cara memenuhi tingkat pertumbuhan yang diperlukan agar tetap stabil, sekaligus melindungi alam dari kerusakan karena eksploitasi?
Banyak ahli menganggap sistem kapitalisme tidak sesuai dengan program konservasi dan pelestarian lingkungan. Namun, ada juga pemikiran lain yang beranggapan bahwa kebebasan ekonomi yang lebih besar memerlukan pembangunan yang lebih besar, yang pada justru mengarah pada peningkatan kualitas lingkungan yang lebih baik. Hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan mindset dari konsumen yang menuntut adanya perbaikan dan perhatian lebih terhadap pelestarian lingkungan.
Jika kita selidiki lebih dalam, beberapa negara-negara barat yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan pasar bebas justru merupakan negara-negara dengan kualitas lingkungan paling baik. Berkaca dari hal tersebut, seharusnya tidak ada trade-off antara kualitas lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Yang ada seharusnya kualitas lingkungan dan ekonomi yang tumbuh berdampingan.
Namun, ada juga fakta menyedihkan di balik argumen di atas. Kondisi lingkungan yang bersih dan baik juga bisa ada karena mereka telah meng-“ekspor” industri pencemar lingkungan mereka ke negara-negara berkembang. Perusahaan besar yang berbasis di negara-negara maju mengambil keuntungan dari negara berkembang atas dasar investasi, efisiensi, globalisasi dan penerapan global supply chain. Industri fashion adalah salah satu contohnya. Telah banyak pabrik-pabrik yang dibangundi negara-negara emerging economies dan negara berkembang seperti India, Bangladesh, Viet Nam, dan Indonesia sebagai bagian dari rantai pasok fashion global.
Sebagai catatan penting, industri fashion menghasilkan 10% dari seluruh emisi karbon di dunia dan menghasilkan 20% dari limbah pencemar air yang berasal dari perawatan tekstil dan pewarnaan. Selain itu, 90% air limbah hasil produksi industri fashion juga dibuang ke sungai tanpa pengolahan yang tepat. Fast Fashion, industri fashion yang memproduksi pakaian dengan jumlah banyak untuk dijual dengan harga murah membuat produk fashion menjadi lebih terjangkau, sehingga terjadi peningkatan konsumsi, yang pada akhirnya meningkatkan penjualan. Akan tetapi, pada prosesnya, praktik ini telah banyak berkontribusi pada kerusakan lingkungan.
Singkatnya, mekanisme pasar di dalam sistem Kapitalisme tidak memberikan insentif kepada industri dan bisnis untuk berkontribusi positif dalam pelestarian lingkungan. Perusahaan akan terus dihadapkan dengan persaingan pasar untuk memangkas biaya, meningkatkan efisiensi, dan mengoptimalkan laba. Dengan demikian, keberlanjutan pelestarian lingkungan akan sangat bergantung pada perilaku pasar yang kompulsif dari cara produksi kapitalis.
Apakah kita harus menyerah dengan kondisi ini dan membiarkan alam kita rusak?
Kita harus menemukan cara agar pertumbuhan ekonomi dan lingkungan berkembang bersama, bukan mengorbankan satu dengan harapan untuk melindungi yang lain. Perlambatan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi yang negatif berpotensi menyebabkan resesi ekonomi, tingginya pengangguran, peningkatan angka kemiskinan, ketidakstabilan politik, dan permasalahan sosio-ekonomi lainnya. Oleh karena itu, jalan menuju mitigasi kerusakan lingkungan bukanlah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, tetapi melalui pertumbuhan ekonomi yang diarahkan pada kelestarian lingkungan.
Masalah kerusakan lingkungan memang tidak secara langsung disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi, tetapi juga melalui tidak adanya kebijakan publik efektif yang dirancang untuk melindungi lingkungan dan alam dari eksploitasi. Pendeknya, pangkal permasalahan di sini adalah kapitalisme yang berjalan tanpa peranan pemerintah yang cukup dalam mengatur sistem ekonomi. Kebijakan dan peraturan semestinya dapat mengejar ketertinggalan dari pesatnya pertumbuhan inovasi dan tren pasar, sehingga dapat mengantisipasi dan menangani kerusakan dan eksploitasi alam yang dapat terjadi. Dengan adanya kebijakan yang tepat sekalipun, belum tentu dampak perubahan tren pasar, inovasi, dan pesatnya kemajuan teknologi dapat ditangani, apalagi dengan minimnya intervensi pemerintah.
Selain aspek kebijakan, telah banyak terjadi gerakan sosial yang mendorong konsumen untuk lebih bertanggung jawab dengan pola konsumsinya, dengan harapan memberi tekanan kepada bisnis dan produsen untuk mengakomodir tren positif ini. Kedepannya, diharapkan juga investasi asing yang masuk untuk turut “mengekspor” praktik perlindungan dan pelestarian lingkungan ke negara tempat mereka berinvestasi. Gerakan ini diharapkan dapat memberikan dorongan kepada bisnis dan industri untuk mengintegrasikan konsep sustainability (keberlanjutan) yang menyeimbangkan aspek keuntungan finansial, kelestarian lingkungan, dan aspek sosial kemanusiaan dalam operasional usahanya.
Seberapa utopiskah ide menjalankan ekonomi kapitalis sambil menjaga dampaknya dalam batas-batas ekologis yang aman?
Pemerintah, akademisi, dan industri telah berinvestasi pada energi terbarukan, teknologi informasi, proses dan metode daur ulang, penggunaan sumber daya rendah karbon, dan mengembangkan konsep ekonomi sirkuler atau circular economy (yang meminimalisir produksi limbah dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam) . Hal ini diharapkan juga dapat menjadi perlindungan terhadap praktik eksploitasi sebagai akibat langsung dari praktik Kapitalis. Bertentangan dengan persepsi yang ada, perkembangan industri dan kemajuan teknologi juga telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam meringankan beban lingkungan. Kemajuan teknologi dan efisiensi yang diterapkan oleh industri mulai menunjukan titik terang dalam mengurangi kerusakan lingkungan.
Saya memang tidak memiliki semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, pendapat saya bisa salah atau keliru. Namun satu hal yang pasti, pada saat kita sebagai konsumen mulai sadar dan memberi perhatian lebih kepada aspek lingkungan dan keberlanjutan, hal ini dapat menjadi langkah awal dalam pemulihan lingkungan alam kita.
DAFTAR PUSTAKA
Bakan, Joel, The Coorporation, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.
Gorz, Andre, Ekologi dan Krisis Kapitalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003.
Harefa, Octhavianus dan Tobing, Tumpal., L, (ed) Krisis Ekologi: Tantangan Keprihatinan dan Harapan, Yogyakarta: BKS-GMKI Yogyakarta, 1994.
Keraf, Sony., A, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Magdoff, Fred dan Foster, Jhon B. Lingkungan Hidup dan kapitalisme. Terjemaahan oleh Pius Ginting. Tangerang Selatan: CV.Marjin Kiri, 2018.
Michelli, Joseph., A, Starbucks Experience, Jakarta: Esensi, 2007.
Rahadjo, Dawam., M, (ed) Kapitalisme Dulu dan Sekarang, Jakarta: LP3ES, 1987.
Samekto, Adji., FX, Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Arif, di kompasiana.https://www.kompasiana.com/arifuop/5eda6cd9097f367b570f
0092/kapitalisme-dan-lingkungan-boven-digoel?page=4