Kesetaraan Gender dalam kerja sosial : Rekonstruksi wacana Keperempuanan untuk membaca realitas
Kesetaraan Gender dalam kerja sosial : Rekonstruksi wacana Keperempuanan untuk membaca realitas!
A. Lata belakang
Diskriminasi berdasarkan gender sampai saat ini masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia. Bentuk dan tingkat diskriminasi juga sangat bervariasi, tak jarang di suatu wilayah atau negara dimana perempuan belum menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Pihak perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan dalam lingkunagan masyarakat. Menurut data dari catatan Komnas Perempuan pada tahun 2020 menyatakan bahwa jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah diranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal, yaitu sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua, posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. (KOMNAS Perempuan, 2021)
Kendati kesejangan gender yang kian meningkat tersebut memunculkan paradigma hukum berbasis keadilan gender sebagai solusi perlidungan dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban. Negara yang mempunyai kewenangan dipandang perlu menciptakan hukum yang bersifat represif untuk memaksakan kepatuhan. Perlindungan hukum berbasis gender di pandang sebagai solusi untuk memberikan perlindungan penindasan yang terjadi. Sama halnya dengan UU TPKS yang baru saja disahkan pada 12 april 2022. Namun legitimasi berupa perlindungan hukum dari suatu negara hanyalah sebuah langkah awal. (Nurhadi, 2022)
Sebagai bagian integral berdasarkan fungsi keseharian masyarakat kapitalis, persoalan kekerasan berbasis gender merupakan dilema struktural yang mengakar kuat. Sistem kapitalisme membangun pemisahan antara aspek regenerasi tenaga kerja dan akumulasi kapital. Hal ini mengakibatkan perempuan ditempatkan menjadi penanggungjawab utama proses reproduksi sosial, sambil mensubordinasi perannya dalam lapangan produksi. Dalam proses ini, gambaran-gambaran negatif pada wanita dikonstruksi, salah satunya melalui pembentukan kebiasaan seksualitas yg menguntungkan struktur masyarakyat. Oleh karena itu, menempatkannya pada konteks hubungan sosial terhadap corak produksi yang ada melalui investigasi proses sejarah yang melahirkan corak produksi tersebut adalah cara yang tepat untuk menganalisis akar permasalahan. ini menyebabkan tuntutan yang menitikberatkan semata-mata dalam pengaturan hukum dan capaian hak sah tidak akan bisa menaruh keadilan yg sesungguhnya karena bahkan kesempatan untuk mengakses keadilan melalui hukum pun tersedia secara tidak proporsional bagi setiap perempuan berdasarkan basis ras, gender, kelas, dan lain-lain. Oleh karena itu, menjadikan hukum sebagai solusi utama dan final adalah keliru.
B. Pembahasan
Kategori kekerasan seksual telah mengalami banyak perubahan. Definisi kekerasan seksual terus berkembang sepanjang sejarah. Perkembangan definisi kekerasan seksual dalam hukum memberi banyak peluang korban untuk menikmati hak-haknya. Dan perlu diingat bahawa perlindungan hukum juga merupakan salah satu capaian dari pergerakan perempuan. Berbagai gerakan Feminisme lahir yang dimulai pada abad 16 M untuk mendapatkan kesetaraan dan persaamaan derajat dan bahwa terjadi penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi dan eksploitasi yang tidak adil dari sistem termasuk yang dialami laki-laki (Kaum Proletar). Banyak wilayah yang mampu mencapai reformasi hukum, namun kasus kekerasan seksual masih mengkhawatirkan (Wahid, 2013)
Kenyataannya bukan pada lemah atau tidak adanya hukum yang dapat mengatur tentang kesetaraan gender. Kekerasan seksual hanyalah sebagian kecil isu dari sistem yang lebih kompleks. Ada tiga landasan utama yang membuatnya tetap eksis sampai sekarang. Pertama, pembagian kerja produktif dan kerja reproduktif berbasis gender melanggengkan ketimpangan. Kerja reproduktif mendukung dan memberikan layanan kepada pekerja untuk tetep melakukan kerja produktif saat ini maupun masa depan seperti merawat anak, menyiapkan makanan, merawat orang sakit, membersihkan, mencuci, mengatur keuangan keluarga. Faktanya kerja reproduktif merupakan basis dari kerja produktif yang walaupu tidak dibayar. Perempuan dewasa, ibu dan anak bertanggung jawab atas pekerjaan ini. Gagasan bahwa perempuan memiliki kapasitas atau kecenderungan alami untuk melakukan pekerjaan merawat, sementara laki-laki dengan gagah berani memenuhi tanggungan mereka yang rentan. Ini, bersama dengan banyak cara lain di mana persfektif gender dipaksakan dan diperkuat, secara kuat membentuk sikap, aspirasi, citra diri dan perilaku orang yang hidup dalam masyarakat kapitalis. Kombinasi dari pengalaman hidup dan beberapa bentuk pengaturan keluarga, dan penguatan yang konsisten secara material dan ideologis disetiap bidang kehidupan, membentuk latar belakang dimana setiap orang membetuk sikap tantang perang, karakteristik dan kemampuan pria dan wanita. Akibatnya, hampir tidak mengherankan sikap yang berlaku cenderung mencerminkan kenyataan ini dan dengan demikian umumnya eksis (O'Shea, 2015)
Kedua, sistem kapitalis menciptakan alienasi dan menormalkan dominasi dan hierarki. Dalam sistem yang didominasi oleh pasar dan keuntungan, keterasingan menimbulkan teka-teki ketidakmampuan dan kepasrahan terhadap fragmentasi diri dari produksi, serta hierarki yang diterima sebagai bawaannya. Ini membangun persepsi publik untuk membenarkan sistem yang memungkinkan seseorang dengan "hak" untuk memperlakukan orang dari peringkat yang lebih rendah sebagai objek. Dengan demikian, hierarki dan dominasi dipandang sebagai interaksi alami manusia dalam hubungan kekuasaan yang dibentuk oleh sistem. Orang-orang yang rentan (termasuk perempuan) telah mengurangi hak dan pilihan yang digunakan sebagai target dominasi dan sebagai tempat berkembangnya keterasingan. Upaya menguasai orang-orang yang berada di bawah kendalinya dipandang sebagai bentuk pemeliharaan norma dan ketertiban guna menciptakan keteraturan.
Ketiga, dalam sistem produksi berbasis profit, wacana perempuan, citra diri, seksualitas dan pornografi tidak lagi dapat dipisahkan dari sistem. Menjadikannya sebagai sebuah komoditi yang dapat dijual. Tubuh sendiri telah menjadi komoditi dan metakomoditi yang digunakan kapitalisme untuk menjual komoditi lainya dengan potensi tubuh perempuan secara fisik. Lebih jauh lagi, harus daikui bahwa orientasi ekonomi kini kian bergeser atau bahkan telah berada ditengah pusaran libido. Hal ini merupakan konstruksi dimensi ekonomi, politik, hasrat dimana potensi libido menjadi ajang eksploitasi ekonomi melalui serangkian proses, bagaimana libido itu disalurkan, dibuat bergairah, atau dijinakkan dan dikendalikan berbagai bentuk hubungan sosial yang menyertai produksi komoditi. Ekonomi politik menjelaskan dimana tubuh dan citra tubuh perempuan menjadi sasaran strategi politik eksplorasi hasrat perempuan , didalam relasi psikis yang dibentuk kapitalisme (Mohammad, 2015).
C. Kesimpulan
Hal yang perlu dipahami dari maraknya kasus kekerasan seksual adalah bahwa kejahatan ini bukan merupakan persoalan yang diakibatkan oleh gangguan atas ketertiban pada umumnya atau ketiadaan hukum yang memadai untuk memberikan efek jera kepada tersangka atau untuk melindungi korban. Kekerasan seksual adalah persoalan sistematik yang tertancap kuat di dalam tatanan sosial yang dikondisikan oleh bagaimana sistem bekerja, sistem yang selalu menempatkan kita kedalam kelas-kelas sosial tertentu, dengan demikian perlu dipahami sebagai bagian dari keseluruhan totalitas organik secara lebih kompleks.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual perlu ada wacana dan gerakan massa yang progresif untuk menuntut perubahan sistem masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut hanya dapat direalisasikan dengan melakukan analisis struktural yang konkrit terhadap setiap permasalahan pada realitas. Karena mustahil melakukan langkah yang solutif ketika kita tidak selesai pembacaan realitas secara komprehensif. Pada prinsipnya penting untuk memutus diri dari sistem yang didasari oleh motif akumulasi kapital lalu kemudian disirkulasi terus-menerus (dalam wujud pertumbuhan ekonomi tanpa akhir). Pemutusan ini merupakan langkah yang perlu guna terciptanya tatanan sosial baru. Di titik inilah, cita-cita kesetaraan gender harus berpaut dengan cita-cita sosialisme dalam menentang kapitalisme! Hal ini bukan lagi utopis. Sebab, setiap makhluk hidup pada hakikatnya ingin setara dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban dan, saat ini, dunia bergantung pada kelas pekerja yang secara material bekerja menghasilkan barang-barang kebutuhan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
KOMNAS Perempuan. (2021). Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual,Kekerasan Siber, Perkawinan Anak,Dan Keterbatasan Penanganandi Tengah Covid-19. Jakarta pusat: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Dipetik mei 11, 2022, dari https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2021-perempuan-dalam-himpitan-pandemi-lonjakan-kekerasan-seksual-kekerasan-siber-perkawinan-anak-dan-keterbatasan-penanganan-di-tengah-covid-19
Mohammad, N. (2015). Perempuan : Tubuh,citr diri, seksualitasdan pornografi dalam genggaman ekonomi politik kapitalisme.
Nurhadi (2022). Kilas Balik 10 Tahun Perjalanan UU TPKS.
O'Shea, L. (2015). Marxisme dan pembebasan perempuan.
Wahid, A. (2013). Gerakan Feminisme; Sejarah, Perkembangan serta Corak Pemikirannya.
0 comments:
Post a Comment