Kebijakan penangkapan ikan terukur: Deminelayan tradisional atau pendapatan negara?
Sitti Aisyah¹
Editor: Ikhramul Akram
Sejak pertengahan tahun lalu, pemerintah gencar menggalakkan kebijakan penangkapan ikan terukur guna mewujudkan ekonomi biru Indonesia. Dilansir dari kkp.go.id, Penangkapan ikan terukur sendiri merupakan kebijakan pemerintah untuk menangkap ikan berdasarkan kuota dan zonasi, dimana dilakukan pada 6 zona di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Dimana pemanfaatan Sumber Daya Ikan (SDI) di zona tersebut juga memperhatikan keberadaan kawasan konservasi, daerah pemijahan ikan, dan pembesaran ikan. Misalnya, penangkapan ikan terukur di WPPNRI 714 di zona 3 akan terbatas pada nelayan lokal, karena daerah ini merupakan daerah pemijahan dan pemeliharaan ikan.
Kuota penangkapan ikan didistribusikan kepada penerima kouta, yaitu: nelayan lokal, investor (industri) dan penghobi. Kebijakan ini juga merupakan salah satu percepatan tiga program terobosan KKP, yaitu penangkapan ikan terukur berbasis kuota di setiap wilayah pengelolaan perikanan untuk keberlanjutan ekologis, pengembangan perikanan budidaya berorientasi ekspor, dan pengembangan desa budidaya berbasis kearifan lokal.
Potret kehidupan nelayan di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Foto Kompas.com.
Dengan jumlah nelayan kecil yang tercatat kurang lebih 2,22 juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia, Ditjen Perikanan Tangkap Muhammad Zaini menegaskan bahwa nelayan lokal adalah nelayan kecil yang tinggal di wilayah penangkapan yang diukur sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan zonasi dalam kebijakan penangkapan ikan terukur, keadilan bagi nelayan lokal bisa lebih terjamin dengan pendaratan ikan tradisional juga dapat lebih merata. Dilansir dari alinea.id, Kepala Pelaksana Satuan Kerja KKP Anastasia Rita Tisiana “Selama ini distribusi perikanan tangkap masih bersifat Jawa sentris. Banyak dari nelayan Jawa yang melaut di Perairan Maluku kemudian didaratkan di wilayahnya sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, ketika pemerintah membuka zonasi untuk nelayan lokal dengan kapal dengan tonase kurang dari 30 GT, mereka hanya diperbolehkan menangkap hingga 12 mil dan lebih dari itu untuk zona penangkapan ikan untuk penangkapan ikan industri. Hal ini bertolak belakang dengan beberapa nelayan yang selalu melaut di luar jarak tersebut. Bagi nelayan, kebijakan ini dikhawatirkan akan membuat mereka semakin terpinggirkan.
Foto Pixabay.com.
Kebijakan penangkapan ikan terukur ini diperkirakan mampu mendongkrak PNBP sektor kelautan dengan target tahun ini sebesar Rp 1,6 triliun. Dimana berdasarkan data KKP pada 21 Desember 2021, total PNBP yang diterima KKP mencapai Rp920 miliar. Dengan pencapaian PNBP perikanan tangkap yang telah mencapai Rp. 694,53 miliar atau mencatatkan pencapaian tertinggi sepanjang sejarah KKP.
Ditjen Perikanan Tangkap Muhammad Zaini menegaskan kebijakan ini bukan untuk tujuan komersial. Kuota penangkapan untuk nelayan kecil akan diprioritaskan dengan mengalokasikan kuota untuk nelayan kecil terlebih dahulu, kemudian untuk tujuan non komersial, dan sisanya ditawarkan kepada badan usaha dan koperasi.
Harapannya juga para nelayan kecil dapat didorong untuk bergabung dalam koperasi sehingga kelembagaan usaha penangkapan ikan lebih kuat dan berdaya saing. Dengan penangkapan ikan terukur, kualitas data ikan yang didaratkan akan lebih baik karena langsung ditimbang dan dicatat di pelabuhan perikanan secara real time. Nelayan kecil juga berpeluang menjadi awak kapal penangkap ikan skala industri,sehingga dapat meningkatkan pendapatan.
Dilansir dari alinea.id, penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur ini juga dinilai dapat membuka jalan bagi kapal asing untuk menguasai perairan Indonesia. Pasalnya, untuk mencapai target PNBP sebesar Rp12 triliun pada 2024. Belum lagi jika lolos lelang, kapal penangkap ikan asing akan diberikan kontrak penangkapan ikan hingga 15 tahun dan bisa diperpanjang 1 kali. Namun, nantinya kuota tangkapan ikan akan ditentukan lebih lanjut oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) dan mewajibkan kapal asing untuk merekrut nelayan lokal sebagai awaknya. Namun hal itu sama saja dengan menjadikan nelayan lokal sebagai buruh bagi orang asing di lautnya sendiri.
Tak hanya itu, pemerintah juga akan membuka peluang bagi swasta untuk mengelola pelabuhan. Dikhawatirkan ke depannya para nelayan lokal akan semakin kesulitan untuk mendaratkan hasil tangkapannya. Seperti diketahui, pada pertengahan Februari lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengundang investor untuk bekerja sama di sektor pelabuhan. Dengan pengelolaan pelabuhan oleh pihak swasta, seluruh kawasan pelabuhan akan berada di bawah aturan perusahaan tertentu. Artinya, baik dari segi pengelolaan, hingga pendaratan hasil perikanan akan diatur sepenuhnya oleh swasta. “Dan ini kejadian di Pelabuhan Bitung. Itu nelayan mencoba mendaratkan tuna di sana tapi tidak boleh oleh perusahaan yang mengelola. Padahal itu perusahaan besar. Terus juga nelayan yang mau masuk juga dikenai retribusi,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati.
Belum lagi munculnya konflik sosial antara nelayan kecil dengan korporasi yang mendapatkan kuota penangkapan ikan. Dengan sistem kuota kontrak, perusahaan perikanan akan mendapatkan keistimewaan yang luar biasa karena 66,6% kuota sudah dikuasai perusahaan dan bisa bertambah hingga 95% dari 5,9 juta ton. Dimana kita tidak mengetahui kondisi persaingan antara koperasi perikanan dengan syarat kontrak yang ditetapkan oleh KKP dengan korporasi.
Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) menegaskan kembali kepada Pemerintah untuk tidak terburu-buru menerbitkan sebuah aturan yang sebenarnya masih membutuhkan berbagai kajian, persiapan dan kesiapan tersebut, karena sarat masalah dan rawan menimbulkan konflik sosial-ekonomi serta memicu penjarahan sumber daya ikan karena integritas dan kapasitas pengawasan yang lemah. Perlu prakondisi yang mendalam dan penyiapan infrastruktur, dan ujicoba sistematis untuk belajar sebelum suatu kebijakan ditetapkan secara permanen. Prinsip kehatian-hatian perlu diprioritaskan. Dikutip dari walhi.or.id dari Siaran Pers KORAL (15 Maret 2022).
Kebijakan penangkapan terukur belum dilakukan secara menyeluruh. Beberapa suara kritis yang terkait kebijakan tersebut menginginkan pengelolaan sumber daya perikanan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan ekosistem dan perlindungan nelayan lokal. Sementara pemerintah berkomitmen dengan hal itu pula. Biarkan waktu yang menjawab, untuk siapa kebijakan penangkapan terukur dibuat.